Langsung ke konten utama

Postingan

Jadikan aku bagian cinta suamimu

Aku, seorang akhwat periang (setidaknya, begitulah yang tampak dari luar), berusia 22 tahun. Hidupku penuh dengan kesedihan, sejak kecil sampai tumbuh besar jarang ku kecap bahagia. Tapi ku kelabui dunia dengan sosok ku yang ceria dan penuh canda. Seringkali teman-temanku bertanya, “Ya ukhty, bagaimana caranya supaya tidak pernah sedih seperti anti?”, hanya senyum yang bisa ku beri untuk menjawab pertanyaan yang sesungguhnya pun ingin ku tanyakan pada mereka yang hidupnya bahagia tanpa cela. Tapi sudahlah, tak kan ku ceritakan kisah sedih masa kecilku, ku hanya akan mengisahkan pencarianku akan bahagia. Dua tahun lalu, tepatnya saat usiaku 20 tahun, aku mulai berfikir untuk melepas kesendirian, ku utarakan niatku pada seorang akhwat senior yang memang sudah beberapa kali menawariku untuk “ta’aruf” dengan beberapa ikhwan yang semuanya kutolak karena berbagai alasan. Sampai ku mengenalnya, lewat sebuah situs pertemanan. Dia, Ubaid (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di sebuah
Postingan terbaru

Kebohongan Perempuan

  Banyak hal tak ia suarakan Karena diamnya adalah bahasa seribu kekecewaan Dan bila ia bersuara namun berupa penyangkalan Banyak gemuruh dalam dada Yang sebenarnya sedang ia kendalikan. . Saat ia berkata ‘aku tak apa-apa’, sesungguhnya ada suatu hal bergelora dalam dadanya Sekali saja, bila kau sempat masuk ke dalamnya Mungkin kau akan terbakar api Atau bahkan membeku menjadi es batu. Saat ia berkata 'aku tidak cemburu’, sesungguhnya kepalanya sedang berperang melawan hatinya Berusaha menjadi pemenang Agar dalam hubungannya, tak ada istilah curang. Saat ia berkata 'terserah’, sebenarnya ia ingin kau memimpinnya Memutuskan apa yang perlu diputuskan Walau sepele dan bukan hal besar Dalam banyak hal, ia ingin kau selalu terlibat dengan benar. Saat ia berkata 'jangan pulang terlalu malam’, sebenarnya ia bukan sedang mencemburui kegiatan atau teman-teman Kelak nanti, ketegasan adalah hal yang ia ingin kau sudah paham Dan bukan lagi ada

Nyawa ke Dua (Bagian I)

Suatu hari setelah merayakan ulang tahun anak sulung yang ke 8, saya memberi kabar kepada ibu saya yang berada di Sumatra Selatan sana. Saya bercerita bahwa ulang tahun tadi sangat seru dan menyenangkan karena Mami nya (kakak saya) membuat nasi kuning juga untuk acara tersebut, jadi untuk makanan lebih beragam selain ada bingkisan dan kado. Kebetulan percakapan masalah hidangan adalah sesuatu yang menarik bagi ibu saya yang juga hobby memasak. Saat itu tanggal 3 agustus 2016, yang juga bertepatan dengan ulang tahun ibuku yang ke 62. Siapa yang menyangka ternyata itu adalah percakapan terakhir dengan ibu saya dalam kondisi stabil 100%, karena keesokan harinya saya mendapat kabar dari ayah bahwa ibu saya harus dilarikan ke rumah sakit karena tensi tinggi, 200/110 saat itu. Ayah bercerita bahwa ibu saya tidak dapat diajak komunikasi dengan baik karena pada skala waktu tertentu ibu saya akan menangis, dan merintih kesakitan yang sangat sakit rasanya. 7 hari berlalu di RSUD Kabupat

Omelet Hasil Demo

Pagi ini tiba-tiba anak cantikku, Hanun,  protes dengan makanan yang wajib mengkonsumsi sayur setiap hari. Tidak seperti biasanya, dia mengatakan bosan makan sayur. Entah mungkin karena saya sudah lama tidak berkreasi dengan dapur, atau karna memang fenomena teman-teman mainnya yang suka jajan di luar, dan jarang makan nasi ketika istirahat di sekolah. Tapi akhirnya saya lebih suka menyalahkan diri sendiri yang sudah lama tidak terjun ke dapur, dan mulai berpikir apa yang harus saya buat supaya anak-anak mau makan sayur. Karena saat saya tanya mau apa hanun dan arka sarapan pagi ini, si kakak menjawab ‘aku Cuma mau susu dan coookis’ dan karna si adik tiduran disebelahnya, si adik ikut-ikutan bilang gak mau yang lain, Cuma pengen susu dan main pasir....hmmm....baiklah...mereka berdemo... memaksa tidak akan menyelesaikan demo mereka :p Akhirnya saya ke dapur memeriksa apa yang ada di kulkas, dan saya menemukan ide. Saya panggil kakak dan adik, lalu saya tawarkan ke mereka ‘apakah k

Empat Hal Mutlak

Saat mendapatkan kabar   mengejutkan itu, aku sedang menyimak bagaimana cara membuat prioritas program dan kegiatan dalam perencanaan di sebuah instansi. Sebuah bbm masuk, lalu beberapa lainnya menyusul dengan berita dan pertanyaan yang sama “suami wanda meninggal semalam, kamu sudah tau??” setidaknya ada 7 bbm yang menanyakan hal serupa . Kalimat itu seperti ingin ku bolt, ku resize jadi ukuran 60 dan ku pasang besar-besar di papan tulis yang terpampang di depanku Aku lebih memilih tidak percaya, tidak secepat itu.. Hengki namanya... Suami salah satu teman kantor yang terakhir kutemui di sebuah rumah sakit Palembang dua bulan yang lalu itu, sekarang sudah bergabung dengan tempat dimana almarhum suamiku tinggal... Sesaat aku seolah dibawa kembali pada rasa yang pernah aku alamai hampir tiga tahun yang lalu Saat tidak pernah merasa siap akan ditinggal seseorang yang sangat kita cintai sebegitu cepatnya Tapi begitulah hidup.... Setidaknya itulah yang sekali l

Sebuah Kejutan

  ‘yang warna biru aja mba, motif dasi’ Rey menunjuk ke arah dinding yang di penuhi kertas kado dan berbagai macam corak ‘sekalian dengan pita nya mba?’ tanya si pelayan seraya menggulung kertas kado pilihan Rey tadi. ‘ya juga ga apa-apa, tapi jangan yang terlalu heboh ya mba’ pinta Rey, bertepatan dengan getaran dari saku jaketnya. Handphone berbunyi tak lama kemudian, diambilnya, tertera nama Ditya disana. Rey terdiam, ragu-ragu untuk mengangangkatnya, hanya memandang hingga getaran itu terhenti. Terdiam lagi, lalu memasukkan kembali ke dalam saku jaketnya. ‘berapa?’ tanya Rey ‘langsung ke kasir aja mba’ jawab si pelayan ramah sambil menunjukkan dimana letak kasirnya. Rey berjalan mendekati kasir, mengantri 1 pelanggan, membayar, lalu melangkah keluar dengan jinjingan tas recycle berwarna maroon. Hari ini, tanggal 19 april. Ulang tahun Ditya yang ke 32. Sebuah jaket berwarna hitam, berbahan suede dan parasut sudah Rey siapkan sebagai kado ulang tahun untuk Ditya, sepe

Di Tengah Hujan

Sepagian ini langit mendung, tapi tanda-tanda hujan turun tak juga muncul. Hingga pada akhirnya perkiraan saya salah, karena jam 11 siang tiba-tiba matahari muncul dengan derasnya. Sore ini rumah terasa lengang setelah anak-anak berlibur ke rumah Uti nya di Paiker. Tiba-tiba terfikir ingin sekali melihat hujan turun, sederas-derasnya. Ingin menikmati guyuran air langit dan berdiri di bawahnya. Serasa di surga, tiba-tiba langit berwarna kelabu, dan tak lama hujan turun begitu derasnya. Ragu awalnya saya keluar rumah. Tapi keinginan bermain air itu begitu kuat, saya berlari secepatnya ke belakang untuk mengambil handuk, lalu menggantungkan di handle pintu depan. Lalu pelan-pelan saya langkahkan kaki ke teras, melepaskan sandal, menginjak tanah, lalu berdirilah saya di tengah hujan... Dingin... Yang saya rasakan, begitu air mulai meresap ke baju dan membasahi badan. Anehnya justru kepala merasakan dingin setelah semua badan saya menggigil. Memejamkan mata ternyata sedik