Aku, seorang akhwat periang (setidaknya, begitulah yang tampak dari luar), berusia 22 tahun. Hidupku penuh dengan kesedihan, sejak kecil sampai tumbuh besar jarang ku kecap bahagia. Tapi ku kelabui dunia dengan sosok ku yang ceria dan penuh canda. Seringkali teman-temanku bertanya, “Ya ukhty, bagaimana caranya supaya tidak pernah sedih seperti anti?”, hanya senyum yang bisa ku beri untuk menjawab pertanyaan yang sesungguhnya pun ingin ku tanyakan pada mereka yang hidupnya bahagia tanpa cela. Tapi sudahlah, tak kan ku ceritakan kisah sedih masa kecilku, ku hanya akan mengisahkan pencarianku akan bahagia. Dua tahun lalu, tepatnya saat usiaku 20 tahun, aku mulai berfikir untuk melepas kesendirian, ku utarakan niatku pada seorang akhwat senior yang memang sudah beberapa kali menawariku untuk “ta’aruf” dengan beberapa ikhwan yang semuanya kutolak karena berbagai alasan. Sampai ku mengenalnya, lewat sebuah situs pertemanan. Dia, Ubaid (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa di sebuah
Banyak hal tak ia suarakan Karena diamnya adalah bahasa seribu kekecewaan Dan bila ia bersuara namun berupa penyangkalan Banyak gemuruh dalam dada Yang sebenarnya sedang ia kendalikan. . Saat ia berkata ‘aku tak apa-apa’, sesungguhnya ada suatu hal bergelora dalam dadanya Sekali saja, bila kau sempat masuk ke dalamnya Mungkin kau akan terbakar api Atau bahkan membeku menjadi es batu. Saat ia berkata 'aku tidak cemburu’, sesungguhnya kepalanya sedang berperang melawan hatinya Berusaha menjadi pemenang Agar dalam hubungannya, tak ada istilah curang. Saat ia berkata 'terserah’, sebenarnya ia ingin kau memimpinnya Memutuskan apa yang perlu diputuskan Walau sepele dan bukan hal besar Dalam banyak hal, ia ingin kau selalu terlibat dengan benar. Saat ia berkata 'jangan pulang terlalu malam’, sebenarnya ia bukan sedang mencemburui kegiatan atau teman-teman Kelak nanti, ketegasan adalah hal yang ia ingin kau sudah paham Dan bukan lagi ada