‘yang warna biru aja mba, motif dasi’ Rey
menunjuk ke arah dinding yang di penuhi kertas kado dan berbagai macam corak
‘sekalian
dengan pita nya mba?’ tanya si pelayan seraya menggulung kertas kado pilihan
Rey tadi.
‘ya juga ga
apa-apa, tapi jangan yang terlalu heboh ya mba’ pinta Rey, bertepatan dengan
getaran dari saku jaketnya. Handphone berbunyi tak lama kemudian, diambilnya, tertera
nama Ditya disana. Rey terdiam, ragu-ragu untuk mengangangkatnya, hanya memandang
hingga getaran itu terhenti. Terdiam lagi, lalu memasukkan kembali ke dalam
saku jaketnya.
‘berapa?’
tanya Rey
‘langsung ke
kasir aja mba’ jawab si pelayan ramah sambil menunjukkan dimana letak kasirnya.
Rey berjalan mendekati kasir, mengantri 1 pelanggan, membayar, lalu melangkah
keluar dengan jinjingan tas recycle berwarna maroon.
Hari ini,
tanggal 19 april. Ulang tahun Ditya yang ke 32. Sebuah jaket berwarna hitam,
berbahan suede dan parasut sudah Rey siapkan sebagai kado ulang tahun untuk Ditya,
seperti yang pernah di janjikannya beberapa waktu yang lalu.
‘kalo kamu
ulang tahun, kamu pengen kado apa Dit?’ tanya Rey sambil mengaduk es campur
saat makan siang bersama Ditya 2 bulan yang lalu
‘nggg…apa
ya?’ Ditya menjawab nyengir
‘serius….’ Saut
Rey
‘beneran nih
mau kasih kado ke aku?’ goda Ditya lagi
‘ya udah deh,
ga jadi aja’ jawab Rey manja
‘hahaha….iya..iya…’
Ditya tertawa sambil memegang gemas kepala Rey
‘kalo mau
kasih beneran, aku pengen jaket warna item, bahan kulit yang mahaaaaal…’lanjut
Ditya lagi
‘uuuu….maunya..sini
tambahin duitku deh kalo mau spesifikasi yang kaya maumu’
‘ya, aku
janji kasih kamu jaket, tapi kalo bahan kulit yang mahal aku ga punya duit’
lanjut Rey, Ditya hanya dapat tertawa terbahak melihat tingkah lucu Rey ketika
itu.
Hanya
berselang 3 hari setelah itu, Rey tanpa sengaja berpapasan dengan Ditya di
sebuah pusat perbelanjaan bersama seorang wanita seumurnya, atau mungkin lebih
muda sedikit. Si wanita bergelayut manja di lengan kiri Ditya. Mereka berbincang
begitu intim, tanpa jarak.
Sudah sangat
terbiasa....
Sudah
seringkali terjadi dalam keseharian....
Terlihat dari
bagaimana cara mereka berinteraksi tanpa rasa canggung....
‘mama, aku
ambil ini ya’ tiba-tiba seorang anak perempuan berumur kurang lebih 6 tahun
menghampiri si wanita, lalu memasukkan sebungkus snack ke dalam trolly yang
Ditya dorong. Si wanita tersenyum lembut menanggapi permintaan si anak.
Mama....?? penasaran, hanya itu ia tau
‘Pa, parfum
toilet udah kering deh kaya’nya. Jangan lupa di rak sana ingetin mama ya’ saat bersamaan
dengan meluncurnya kalimat itu Rey melintas 90 derajat di sebelah kanan Ditya.
Ditya tak
menjawab, hanya pucat yang dapat dia bagikan kepada seluruh pengunjung di dalam
ruangan. Lalu dengan reflek ekor matanya mengikuti langkah Rey yang seolah tak
mengenal dirinya. Degup jantung Ditya terpompa begitu cepat, sehingga yang
terdengar hanya dengungan saja.
‘siapa pa?’
tanya wanita tadi, sang istri. Ditya hanya diam, mencoba menata nafasnya yang
mendadak berjarak sangat pendek.
‘pa…??’ ulang
sang istri lagi,
langkah
mereka terhenti.
‘lupa…’ jawab
Ditya sekenanya. Bibirnya kering. Sang istri hanya terdiam dengan wajah heran.
Dan Ditya tak lagi konsentrasi melanjutkan acara menemani istri dan anak
berbelanja akhir pekan itu. Ingatan Ditya hanya terpaku pada kejadian
berpapasan dengan Rey, seperti adegan slow motion berulang di dalam
otaknya.
Rey tak dapat
berkata apapun ketika masuk ke dalam kamarnya, kecuali terdiam kaku dan
merebahkan tubuh di atas tempat tidurnya yang tua. Tak bergerak
15 menit
beralalu....
Otaknya sibuk
membuat cerita, mengingat kejadian, bahkan menghitung jumlah hari yang sudah
dia lalui bersama Ramaditya, kekasih hatinya. Lelaki berkulit putih, dengan
satu cengiran khas. Lelaki yang mampu meluluhkan hatinya karena beberapa
tulisan yang bagus dari sebuah surat kabar. Lelaki yang mampu berkeliling dunia
dari hasil reportasenya yang menawan. Lelaki yang bisa memenuhi hari-harinya
dengan mimpi dan cinta. Lelaki yang tak pernah dia kenal dari satu sisi lain,
bahwa dia telah berkeluarga.
Lalu perlahan
air mata meleleh di pelipis mata kanan kirinya.
‘stupid….’
bisiknya geram yang diarahkan ke dirinya sendiri. Telepon berdering, tak
dihiraukannya. Berdering kembali, tak juga di gubris, baru ketika deringan ke
tiga tangannya tergerak mengangkat teleponnya
‘ya…’
jawabnya lemah.
‘o…ya
sebentar saya buka’ lanjutnya, lalu dengan lunglai Rey melangkah keluar kamar
menuju pintu utama.
‘paket mba,
saya ketok berkali-kali gak di buka, jadi saya telpon saja’ seorang lelaki
berdiri didepan pintu sambil membawa bungkusan berwarna coklat. Rey tak
menjawab. Dia hanya menandatangani surat tanda terima, dan menutup pintu
kembali tanpa memperdulikan si pengantar paket masih di depan rumahnya atau sudah
pergi.
Rey kembali
melangkah ke kamarnya, mengunci pintu dan melemparkan bungkusan paket tadi ke nakhas
sebelah tempat tidurnya. Lalu naik ke tempat tidur lagi, dan berusaha terlelap.
Pikiran tentang kejadian di supermarket 3 jam yang lalu mulai terlihat kabur,
lalu menghilang, dan berubah lebih jelas di dalam mimpinya.
Perlahan rey
membungkus jaket yang sudah dilipatnya dengan rapih. Lau menyelipkan secarik kertas
berwarna biru kedalam lipatannya. Tak ada senyum yang menemani saat membungkus
kado itu. hanya tangannya tetap lincah melipat sudut demi sudut, sehingga
terbentuklah sebuah bungkusan manis dengan pita perak yang di letakkan di
pinggirnya.
Rey meraih
telepon genggam yang tak jauh dari tempat dia duduk. Lalu menuliskan nanti
jam 7 ya di cafe pertama kita ketemu, di meja yang sama, dan terkirim...
Rey menarik
nafas panjang, lalu menunduk dalam
‘Rey bisakah
bicara?’ ucap Ditya suatu siang, sehari setelah kejadian berpapasan di
supermarket itu.
‘ga usah ah,
ga ada juga yang mesti dibicarakan’ jawab Rey dengan nada seolah tidak terjadi
apa-apa sebelumnya.
‘Rey…’
‘eh, kamu
udah makan belum?’ potong Rey dengan acuh. Ditya tak menjawab
‘yeee…
ditanyain jugaaa…’ desak Rey lagi
‘udah’ jawab
Ditya singkat
‘hmmm, pasti
makan di kantin kantor ya…’ Rey menggoda Ditya dengan nada biasanya, manja.
Ditya kembali diam, tidak tau harus membicarakan apa dengan Rey yang seolah
menganggap angin lalu semua kejadian itu.
‘eh, aku udah
pesen meja buat ulang tahunmu loh Dit. Aku mau kita ulang semua kejadian
pertama kita ketemu disana, kamu pake baju biru, aku juga..’ lanjut Rey
‘jangan ga
dateng ya, lusa aku ga akan ambil lembur deh, pokoknya kita rayain berdua aja
disana, okey? Daag Ditya…luv you…’ Rey tak memberi kesempatan sedikitpun untuk
Ditya menjawab.
Rey
menggunakan sweater kuning belang-belang orange dan biru muda. Menyisir rambut
seadanya, lalu membuat kuncir ekor kuda seperti biasa saat dia hendak jalan
sore atau jogging. Rey menolak untuk di jemput, dia memaksa untuk berangkat
sendiri menggunakan motor bebeknya yang dia beli ketika pertama kali memasuki
dunia kerja, 3 tahun yang lalu. Dengan kecepatan standar Rey menuju lokasi yang
sudah dipesan seminggu yang lalu.
‘meja 8 siap
mba?’ tanya Rey kepada penjaga kasir yang tak jauh dari pintu masuk
‘sudah mba,
ini dengan mba Reyna sendiri?’ tanya si penjaga kasir balik.
‘iya’ jawab
rey tersenyum, lalu permisi untuk menuju meja yang terletak di sudut. Rey berdiri
satu meter dari meja itu. Satu lilin siap dinyalakan, satu kue tart balckforest
berukuran 15 x 15 cm dengan angka 31 diatasnya. Lalu Rey melangkah perlahan
mendekati meja yang sengaja di siapkan dengan 2 kursi berhadapan. Menyentuh
meja itu, lalu meletakkan kado yang ia beli dari toko online ternama, dengan
pengiriman kilat kerumahnya, sepulang dari makan siang bersama Ditya dan
mengucakan janji hendak memberinya kado seperti keinginan kekasihnya, siang
itu.
Setelah
dirasa cukup, Rey meninggalkan meja itu dengan gontai, menuju kasir, membayar
semua bill pesanannya.
‘meja 8
mba..’ Ditya menghampiri meja kasir Ocean Cafe, 5 menit setelah Rey
meninggalkan jejak yang sama.
‘sudah siap
pak’ jawab mbak kasir dengan ramah. Lalu menunjukkan arah jalan ke meja yang
dimaksud. Ditya menuju ke arah lokasi yang di maksud, dan terpukau…
Matanya
menatap tajam ke arah bungkusan biru berpita perak di sebelah kue tart. Lalu
perlahan mendekati meja, dan duduk. Menatap kue itu, lalu tersenyum. Dasar rey…
pikirnya.
‘malam pak,
ini minuman pesanan bapak’ seorang pelayan mengantarkan milkshake vanila.
‘saya gak
pesen mba…’
‘mba Reyna
yang pesen pak, katanya bapak ingin minuman ini’ potong pelayan dengan ramah
‘rey? Dimana
orangnya’ Ditya memburu
‘nggg… kurang
tau pak, tapi tadi mba Reyna sudah
membayar semua di kasir’
‘ada pesanan
lagi pak, kalau tidak saya permisi..’ pamit, lalu meninggalkan Ditya yang masih
terdiam kaku.
20 menit
kemudian, setelah berkali-kali bbm tidak di balas, telepon tak diangkat, sms
tak ada jawaban, dan minuman tinggal setengah, Ditya mulai putus asa bahwa Rey
akan datang. Ditya sangat memaklumi itu, dan separuhnya menebak yang akan
terjadi hari ini. Ditya mengambil kado di hadapannya, lalu membukanya perlahan.
Matanya tertuju pada jaket itu, lalu terdiam cukup lama. Ditya menarik kertas
yang terlipat, yang tersembul dari balik lipatan lalu membukanya
Hai Ditya
sayang… happy b’day yah…
Udah Tiga
satu lho, jadi harus jadi orang yang
semakin bijaksana pastinya..
Btw, aku
agak kaget juga tau kamu sudah punya keluarga. Asik ngeliatnya, suatu saat aku
juga akan mengajak suamiku jalan-jalan dan membeli sebuah parfum toilet untuk
rumah tinggalku suatu hari nanti
Aku tak
mau jadi jalan belokmu lagi,
Pulanglah…
With love,
Reyna
Nb. Anakmu
cantiiik… dia punya mata sepertimu
Ditya
terpana, seolah tak dapat lagi bergerak dari posisi duduknya. Menggenggam
selembar kertas itu, dan menunduk menatap jaket yang teronggok di pangkuannya.
Lampu remang-remang
membuat Ditya tak mampu melihat siapa saja yang menyaksikan kelu yang ia
rasakan. Seseorang berdiri dari bangku yang berjarak satu meja di belakang
Ditya saat itu, perlahan menuju ke lapangan parkir untuk kedua kalinya sejak
membayar bill pesanan di meja kasir setengah jam yang lalu. Menghidupkan roda
dua kesayangannya, lalu melaju kencang meninggalkan Ocean Cafe, tempat kenangan
pertama bertemu dengan lelaki yang selalu dikenalnya baik selama ini.
Menembus
angin malam, dan berbisik pada angin “selamat
tinggal Raditya...”
Komentar
Posting Komentar