Saya dilahirkan di kota berhawa sejuk, Wonosobo, Jawa Tengah. Sejak saya duduk di bangku TK pada tahun 1985, saya mengenal seorang lelalaki muda, dengan perawakan tidak terlalu tegap, berjalan selalu cepat, dia juga memiliki kekurangan mental. Pak Goris namanya. Keluarga pak Goris terbilang sederhana, lebih condong ke arah minus. Rumah tinggal Pak Goris berukuran kecil, kurang lebih 4 x 6 m2 berdinding kayu lapuk, lantai tanah, tanpa kamar mandi.
![]() |
Sumber : koleksi pribadi |
Pak Goris muda setiap pagi mengikuti ayahnya, si pengangkut sampah kampung. Dia berjalan mengiringi sang ayah, bahkan seringkali membantu mengangkat keranjang sampah, lalu menumpahkan dalam gerobak, dan mengantarkan ke pembuangan sampah sementara. Goris juga seringkali menggantikan ayahnya, ketika sang ayah harus istirahat dari kerjaan yang dimandatkan Pak RW kepadanya karena sakit atau keperluan lainnya.
Saat saya duduk di bangku SD Saya punya beberapa teman di kampung yang suka sekali mengejek “pak Goris bau....pak Goris bauuu...” tapi dengan ramah pak goris membalas ejekan kami dengan senyuman, tapi kadang juga membalas dengan sedikit “ngerjain”. Pak Goris pura-pura melemparkan keranjang sampah ke arah kami, sehingga kami menjerit dan berusaha lari menghindar. Lalu Pak Goris tertawa terbahak-bahak. Tapi Pak Goris tidak pernah marah, makanya kami ngerasa ketagihan ngejek Pak Goris kalau lewat di depan kami :D.
2 hari yang lalu, ketika saya pulang ke Wonosobo karena Pakdhe meninggal, saya bertemu kembali dengan Pak Goris. Masih sama, lugu, dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Hanya rambutnya mulai memutih karena uban. Pagi itu saya liat Pak Goris sibuk lalu lalang di depan saya yang kebetulan sudah di dalam kendaraan hendak pergi ngajak anak-anak naik dokar (andong). “Pak goris...” saya panggil dia. Pak Goris nengok, melihat ke arah saya. Senyumnya mengembang, terkejut, lalu menjawab “eh, mba Nia...” bengong, takjub.... dia mengenali saya, dan mengingat nama kecil saya. “sebentar mba Nia, saya tak ngumpulin sampah dulu kesini” katanya sambil menunjuk ke arah gerobak yang tepat di depannya, sedangkan kedua tangannya lincah menumpahkan sampah-sampah dari keranjang sampah rumah tangga yang terlebih dahulu di kumpulkan dekat gerobak dorongnya. Setelah selesai, pak Goris menghampiri saya, dan berdiri di samping jendela mobil sambil masih memegang keranjang sampah yang sudah kosong. “kapan kondur? (kapan pulang?)” tanya pak Goris dengan sopan, saya melihatnya berdiri sedikit berjarak dengan kendaraan. “wingi pak (kemarin pak)” Saya menjawab, dan masih terheran-heran bagaimana mungkin dia bisa mengenali saya yang notabene sudah hampir 14 tahun meninggalkan kota ini. Hebat. Pikir saya. Lalu terjadilah obrolan singkat, sebelum akhirnya pak Goris berpamitan dan meninggalkan kami di dalam kendaraan yang siap berangkat jalan-jalan.
Sepulang saya jalan-jalan, saya tanyakan kemana ayah pak Goris, tante saya bilang kalau ayah pak Goris sudah meninggal 4 tahun yang lalu, dan sampai ahir hayatnya mengabdi kepada kampung Kauman Utara sebagai pengangkut sampah. Ketika orang-orang kampung kelabakan mencari pengganti, dengan legowo pak Goris mengajukan diri sebagai pengganti ayahnya. Tante saya juga cerita, pernah suatu hari pak goris sakit, sampai 3 hari tidak muncul, ternyata berdampak luar biasa pada kehidupan di rumah. Sampah menumpuk, banyak lalat, dan bau tentunya.
Hmmm, pekerjaaan sederhana, bahkan terlihat kecil oleh sebagian orang ternyata merupakan elemen penting dalam roda keseharian.
Saya terdiam cukup lama dengan reuni kecil dengan pengangkut sampah masa kecil saya. Geli rasanya jika mengingat kenakalan saya dan teman-teman saya yang usil. Tapi lebih geli lagi ketika saya baru menyadari bahwa peran seorang Pak Goris ternyata lebih besar dari yang saya pikirkan. Sang pengangkut sampah rumah tangga, dengan keterbatasan ilmu dan mental, ternyata mampu mengingat nama kecil saya, dan dengan iklas menjalankan tugas yang oleh sebagian orang di pandang sebelah mata, setiap hari tanpa keluhan sedikitpun.
Terimakasih Pak Goris.. Panjang umur dan Barokah..
aku yo tahu pak goris,dulu sering mancing2 ben di kejar. Biasanya ketemu kalo jajan pecel di sebelahnya SD 2.
BalasHapusSD 2? memang mas bambang dulu di SD mana? saya SD 2 lho sekolahnya...
Hapuspak goris sekarang udah tua, tapi tetep semangat dengan tanggung jawabnya.
semoga di mudahkan unruk pak Goris, amien
ngece.. saya emang di SD geblek ( jare angka 8 persis sama geblek yg di jual di kantin ).Tapi emang sering jajan di sblhe SD 2,rumahnya mbok siapa gitu.
Hapus